“Lepas dari Mulut Buaya Masuk ke Mulut Singa”
Dengan adanya wacana harga rokok Rp 50 ribu, mungkin banyak yang ingin beralih ke rokok elektrik. Namun, tahukah Anda, bahaya rokok elektik tak jauh beda dengan rokok konvensional. Malah tren rokok elektrik ini, mengundang segudang kekhawatiran. Seperti yang diungkapkan Koordinator Bali Tobacco Control Initiative, Made Kerta Duana, SKM.,MPH., saat berbincang dengan Tokoh di ruang kerjanya di PS Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.
Kerta Duana mengatakan, perokok dini makin meningkat. Merokok sudah dilirik siswa SD. Usia tertinggi kisaran 14 tahun sd. 15 tahun. Sebanyak 23% remaja Indonesia perokok. Tren ini menunjukkan perokok sudah sangat meningkat jumlahnya, baik di kalangan remaja, pria dewasa, bahkan perempuan. Muncul kekhawatiran, jika dilihat dari aspek kesehatan, merokok berisiko terhadap penyakit ke depannya, baik akut dan kronis. Para remaja, sangat dikhawatirkan 10 tahun ke depan, karena mereka sudah memulai merokok usia dini.
Ironisnya, ada perubahan tren di kalangan remaja dalam mengonsumsi rokok. Saat ini, tidak hanya mengonsumsi rokok konvensional, tapi mulai mengisap shisha dan vape atau rokok elektrik yang sedang tren. Kondisi ini menurutnya, sangat mengkhawatirkan. “Apakah rokok elektrik ini sudah merupakan produk legal dan berizin. Malah, info terakhir kita dengar ada yang meledak,” ujar dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Unud ini.
Menurut nya, dalam penggunaan vape ada dua unsur, yakni alat dan cairan nikotin. Sementara, dua produk ini belum berizin dari BPOM, dan ini bisa dikatakan produk illegal. Ironisnya, vape malah sudah banyak beredar di masyarakat.
Mengapa remaja coba-coba ikut tren? Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Bali ini, di satu sisi, mereka ingin menempatkan diri, seperti di iklan, mereka lebih keren atau lebih modern dan gaul. Dan di satu sisi dampaknya. “Ada mitos yang diyakini bagi pengguna,rokok elektrik ini lebih aman, karena ini bukan rokok, ini adalah salah satu cara untuk berhenti merokok. Entah siapa yang mengangkat isu ini,” ujar Kerta Duana.
Menurutnya, ketika tetap menggunakan daun tembakau nikotin, dampaknya tetap sama, terkait risiko penyakit. Di satu sisi memberi efek lain seperti alatnya bisa meledak. Di sisi lain, ini bisa mengacaukan aturan tentang kawasan bebas rokok karena ini disebut bukan rokok. Jadi mereka bisa mengisap vape di mana saja. Ketika orangtua menegur anaknya, mereka berkata, ini bukan rokok. Bagi yang ingin berhenti merokok, tetap saja tidak bisa lepas. Malah, pada penggunaan rokok elektrik mereka bisa mengatur kadar nikotin yang dibutuhkan. Jadi sama saja, “lepas dari mulut buaya masuk ke mulut singa”. Ia menegaskan, adiksi itu tidak bisa digantikan. “Kalau ingin berhenti harus total, kalau hanya ingin mengalihkan, kemudian beralih ke rokok elektrik, sama saja tidak akan bisa berhenti merokok,” kata Kerta Duana. Apalagi, dengan wacana harga rokok yang akan dinaikkan, kemudian pengguna mencoba beralih ke rokok elektrik untuk pelan-pelan berhenti merokok tetap saja bukan hal yang tepat. “Efek dari merokok elektrik sama saja dengan merokok biasa. Parahnya, si perokok berpikir, seolah-olah dengan rokok elektrik tidak menggangu orang lain atau dirinya sendiri.
Dalam definisi UU Kesehatan dan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Provinsi Bali, disebutkan, rokok adalah sesuatu yang bentuknya dikonsumsi dengan kandungan kinotin, hasil produksi daun tembakau. Memang ada perbedaan, hasil emisi, berupa asap uap. Beberapa penelitian terbaru menyatakan, asap akan menempel di paru, akan memicu penyakit paru-paru. Karena ini uap, dia cepat menempel di saluran luar pernapasan, bisa menimbulkan kasus kanker mulut, hidung, lidah, dll. Disamping itu, uap yang dihasilkan sangat luar biasa banyaknya seperti menyemprot.
Menurutnya, seharusnya, Balai POM Bali dan Dinas kesehatan Bali, memberikan perhatian lebih. “Kalau sudah masuk ke remaja kita sama saja menemukan dua masalah. Pengendalian rokok konvensional belum beres, sekarang ada lagi rokok elektrik.
Saat ini, penjualan rokok elektrik masih dalam sistem klaster. Mereka membentuk komunitas pengguna. Ini menjadi satu tren membentuk komunitas baru. Dalam rokok konvensional sudah ada gambaran bahaya rokok dan aturan merokok, sementara, dalam rokok elektrik tidak ada.
Produk ini beredar tanpa informasi yang mendampingi, bagaimana pun nikotin adalah zat adiktif yang harus dikendalikan. Sampai saat ini, belum ada upaya pengendaliannya. “Saya sempat baca, statemen BPOM, produk ini belum prioritas untuk dilakukan pengawasan, pengujian layak edar, dsbnya. Tapi kita sebagai penggiat kesehatan masyarakat, berharap jangan sampai terlambat,” kata Kerta Duana. Ia menilai, fenomena sudah ada, jangan menunggu lebih sulit untuk dikendalikan. “Semakin dini pengendaliannya, akan jauh lebih bagus. Kita bicara aset bangsa. Sistem penjualannya masih terklaster, intervensinya jauh lebih mudah. Ini sangat mungkin dilakukan control, gerak cepat itu harus dijadikan satu priortitas bagi pemegang kebijakan,” sarannya. –Wirati Astiti
Bahaya Rokok Elektrik
No comments:
Post a Comment