“Penasaran!” Itulah salah satu alasan kedatangan masyarakat ke pameran Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan RI di Galeri Nasional, Jakarta. Maklumlah lukisan-lukisan koleksi Istana Kepresidenan ini memang baru kali ini dipamerkan kepada masyarakat. Sebut saja lukisan karya Raden Saleh yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang dibuat tahun 1857, atau karya Henk Ngantung yang berjudul ‘Memanah’ yang memiliki nilai sejarah tersendiri.
Selain para pelukis kesohor itu, juga dipamerkan karya para pelukis kenamaan lainnya seperti Affandi, Dullah, Gambiranom Suhardi yang melukis Jenderal Sudirman, Trubus Sudarsono, S Soedjojono, dll. Tak ketinggalan, masyarakat juga dapat melihat lukisan karya Presiden Sukarno yang diberi judul ‘Rini’.
Pameran bertajuk ‘Goresan Juang Kemerdekaan’ Koleksi Seni Rupa Istana RI ini dapat dinikmati masyarakat sepanjang Agustus ini. Ada 28 lukisan yang dipamerkan, terdiri dari 18 lukisan tokoh-tokoh bangsa serta perjuangan masyarakat menuju kemerdekaan, termasuk di antaranya lukisan yang menggambarkan kondisi masyarakat pada masa itu, dan 10 lukisan bertema nusantara.
Selain itu juga dipamerkan buku-buku yang menyimpan data-data koleksi Istana, baik itu lukisan, patung, keramik, dll. Selain ruang pamer lukisan, juga ada ruang pamer yang berisi koleksi foto-foto jaman perjuangan serta display tentang perjalanan sejarah koleksi benda seni Istana Kepresiden RI.
Untuk memahami lukisan-lukisan tersebut, pengunjung tak perlu khawatir selain masing-masing lukisan diberi narasi singkat tentang latar belakang lukisan itu, pengunjung juga dapat meminta bantuan pemandu yang jumlahnya cukup banyak di arena pameran.
Beberapa lukisan terlihat sangat menarik pengunjung, di antaranya adalah karya Basoeki Abdullah yang berjudul ‘Diponegoro Memimpin Pertempuran’. Lukisan yang berukuran 120 x 150 cm yang dibuat tahun 1949 langsung berhadapan dengan pintu masuk ruang pamer. Setidaknya di antara koleksi lukisan yang dipamerkan ada tiga karya terkait dengan Pangeran Diponegoro, di antaranya yang dibuat oleh Soedjono Abdullah.
Sedang lukisan lainnya adalah karya Raden Saleh yang berjudul ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’. Inilah lukisan paling tua (1857) yang berada di ruang pamer Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan. Raden Saleh lahir di Semarang 1811 dan meninggal di Bogor 1880, merupakan pelopor seni rupa modern Indonesia.
Ada cerita menarik dibalik lahirnya lukisan yang dibuat oleh maestro seni rupa Indonesia itu. Dijelaskan, lukisan yang berukuran 112×179 cm ini terinspirasi oleh lukisan pelukis Belanda Nicholaas Pienemaan yang bertajuk ‘Penyerahan Diri Dipo Negoro kepada Letnan Jenderal HM de Kock, 28 Maret 1930, yang mengakhiri Perang Jawa. Berbeda dengan Pienemaan, lukisan Raden Saleh lebih bernada nasionalisme sekaligus memberi gambaran tentang dramatisasi hidup Sang Pangeran di depan tentara penjajah.
Hal ini terlihat dari judul dan sikap figur Diponegoro yang ada pada lukisan tersebut. Lukisan itu sendiri dikerjakan Raden Saleh di Belanda yang kemudian diserahkan kepada Ratu Belanda. Lukisan ini mengecam sikap penjajahan di Jawa dan menuntut agar Belanda mengembalikan martabat orang Jawa. Karena itu Raden Saleh juga menggambarkan dirinya dalam lukisan sebagai seorang saksi penangkapan yang penuh kecurangan tersebut.
Lukisan ini diberikan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1978 bersamaan dengan peristiwa kembalinya sejumlah artefak warisan budaya lainnya.
Lukisan lain yang juga menarik perhatian adalah karya Henk Ngantung berjudul ‘Memanah’. Karya pelukis yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta (1964-65) ini secara kebetulan dipakai sebagai latar belakang pembacaan Proklamasi RI. Itulah sebabnya lukisan berukuran 153 x 153 cm yang dibuat tahun 1943 ini ikut dipamerkan.
Namun begitu ada cerita menarik di balik lukisan yang menjadi salah satu favorit Bung Karno ini. Ceritanya, sebagai terungkap dalam penjelasan lukisan, Bung Karno menemukan lukisan tersebut pada 1944 saat pameran di Keimin Bunka Sidosho (Pusat kebudayan Jepang), Jakarta. “Ini adalah sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus terus bergerak maju,” kata Sukarno.
Begitu tertariknya Bung Karno sampai-sampai dia pun mendatangi studio Henk Ngantung begitu pameran usai. “Aku ingin membeli lukisan ini,” kata Sukarno. Hank menjawab bahwa lukisan itu sebenarnya belum selesai. Ada bagian lengan yang belum sempurna dan untuk menyelesaikannya harus ada model. “Aku akan menjadi model,” ucap Sukarno lagi. Henk terperangah dan tak bisa menolak. Lalu ia pun menyelesaikan lukisan tersebut dalam tempo 30 menit. Setelah itu, lukisan langsung dibawa Sukarno ke rumahnya di Pengangsaan Timur 56 Jakarta .
Sayangnya, lukisan karya Henk yang dibuat di triplek sudah tidak bagus kondisinya, beberapa bagian sudah rusak. Jadi dalam pameran, selain lukisan asli yang ditaruh di dalam kaca, dibuat juga replikanya yang dipajang di dinding. Replika ‘Memanah’ itu dibuat oleh Haris Purnomo tahun 2016.
Lukisan lain yang juga tak dilewatkan pengunjung adalah karya Presiden Sukarno. Lukisan berukuran 50 x 70 cm itu diberi judul ‘Rini’. Dullah, pelukis Istana, dalam penjelasannya pada buku koleksi lukisan Sukarno mengatakan, lukisan tersebut berawal saat Bung Karno dan dirinya berada di Bali. Seperti biasanya, di sana ia pun berkegiatan melukis. Namun baru membuat garis-garis cengkorongan atau sket yang belum berarti, Dullah meninggalkannya dan kembali ke Jakarta.
Peninggalan Dullah inilah yang kemudian diteruskan Bung Karno pada 1958, ketika ia kembali datang ke Bali guna beristirahat selama 10 hari. Tentu saja ada banyak perubahan yang dibuat Sukarno dari sketsa semula.
SERIBU PENGUNJUNG PER HARI
Sejumlah warga yang tengah sabar mengantri giliran melihat lukisan-lukisan koleksi Istana Kepresidenan mengaku mereka antusias datang kepameran bukan hanya karena baru kali ini Istana Kepresidenan terbuka dengan berbagai koleksi yang dimiliki, tapi juga kisah-kisah menarik di balik keberadaan lukisan itu.
“Iya sih penasaran, pengen tahu dan lihat langsung. Ya sekalian jalan-jalan ke Jakarta,” kata Rika, warga Bogor yang datang bersama dua teman ke Jakarta naik kereta api.
Saat sampai di Gedung Galeri Nasional, Rika dan temannya-temannya tidak bisa langsung mereka harus mengantri dulu menunggu giliran. “Kami urut ke 60, sekarang baru urut ke 12,” kata Rika sambil menunjuk ID Card yang dikenakannya yang bertuliskan angka 60. Ia juga mengaku telah menitipkan sebagian barang-barangnya di counter penitipan karena tidak diperbolehkan dibawa masuk ke ruang pamer. “Kita tidak boleh bawa kamera dan tas. Hanya boleh bawa HP dan dompet,” ucap gadis berkerudung itu.
Tidak seperti pameran pada umumnya, pameran lukisan koleksi Istana ini memang memberlakukan aturan yang ketat. “Tas, jaket, topi, kacamata, peralatan tulis-menulis, kamera, dll, harus dititipkan di counter penitipan. Yang diperbolehkan hanya bawa HP dan dompet. HP boleh dipakai untuk memotret tapi dilarang memotret close-up juga tidak boleh pakai blitz,” ungkap petugas.
Untuk menonton pameran, pengunjung harus registrasi dulu di loket pendaftaran. Di sana pengunjung akan dicatat namanya, e-mail juga nomor kontaknya, setelah itu diberi ID Card yang bertuliskan nomor antrian.
“Iya memang tidak bisa langsung masuk, harus menunggu giliran. Kuota pengunjung di dalam ruang pamer hanya untuk 50 orang. Pengaturan ini demi keamanan juga kenyamanan pengunjung dalam melihat berbagai koleksi yang dipamerkan,” ungkap petugas registrasi dengan ramah.
Menurutnya, sejak pameran digelar 2 Agustus lalu, masyarakat begitu antusias berkunjung. Setiap hari, ucapnya, pengunjung mencapai lebih dari 1000 orang. “Pengunjung banyak sekali, jadi harus sabar,” katanya sembari menambahkan, registrasi bisa dilakukan secara online. “Kalau sudah registrasi secara online, datang ke sini bisa langsung ambil ID Card dan masuk, tidak perlu antri lagi,” tambahnya. –Diana Runtu
Koleksi Istana Kepresidenan dan Kisahnya
No comments:
Post a Comment