Thursday, July 28, 2016

Jumlah Penduduk Miskin di Jakarta Bertambah

 


Badan Pusat Statistik DKI Jakarta merilis data tentang jumlah warga miskin di Jakarta bertambah. BPS menyebut jumlah penduduk Jakarta yang miskin mengalami kenaikan 0,14 poin jika dibanding tahun lalu. Disebutkan, jumlah penduduk miskin pada bulan September 2015 mencapai 368.670 orang atau 3,61% dari total penduduk Jakarta. Maret 2016, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75%. Artinya, ada peningkatan 15.630 orang atau meningkat 0,14 poin.

Tapi data itu dibantah oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat. Ia meragukan data yang dirilis BPS DKI Jakarta. Menurutnya, data-data tersebut tidak valid. Djarot khawatir bunyi data tersebut demikian karena tidak semua orang yang disurvei memiliki KTP DKI Jakarta. Sebagaimana diketahui, Jakarta dihuni bukan hanya oleh mereka yang ‘BerKTP’ DKI Jakarta tapi juga orang dari daerah lain. Yang dimaksud Djarot adalah para pendatang dari daerah (urbanisasi) yang  tidak memiliki dokumen kependudukan Jakarta.

“Saya tidak yakin data itu. Penduduk miskin pasti ada. Tapi data-data itu (BPS) juga termasuk orang-orang yang tidak ber-KTP Jakarta. Kami akan menanyakan hal ini ke BPS,” kata mantan Walikota Blitar itu. Dengan mengetahui data-data persis dari BPS Jakarta,  kata Djarot, Pemda bisa mengambil langkah-langkah terkait penduduk miskin ini.

Menurut  laporan Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi DKI Jakarta, Sri Santo Muliatinah, Garis Kemiskinan (GK) bulan Maret 2016 sebesar Rp 510.0359 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding GK September 2015 yakni sebesar Rp 503.038 per kapita per bulan dan GK Maret 2015 sebesar Rp 487.388 per kapita per bulan.

“Peranan komoditi makanan terhadap GK jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan GK Makanan terhadap GK Maret 2016 sebesar 64,59% (Rp 329.644), sedangkan sumbangan GK  Non Makanan terhadap GK sebesar 35,41 % (Rp 180.715),” papar Sri.


Salah satu daerah pemukiman kumuh di Jakarta

Salah satu daerah pemukiman kumuh di Jakarta


Menurut Sri, sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2016 adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016. Jumlah sampel Susenas di DKI Jakarta adalah 5.200 rumah tangga. Selain itu juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.

“BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan,” jelasnya. Ia menambahkan,  metode menghitung GK terdiri dari dua komponen yakni GK Makanan dan GK non-Makanan.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui ada peningkatan penduduk miskin di Jakarta namun demikian ia tidak sepakat dengan konsep survei yang dilakukan BPS Jakarta. Yang dimaksud Ahok, begitu sapaan akrab Gubernur DKI Jakarta, seharusnya yang disurvei adalah benar-benar warga Jakarta, dalam artian memiliki KTP Jakarta. Karena BPS dalam melakukan survei tanpa menanyakan apakah yang bersangkutan memiliki KTP Jakarta atau tidak.

“Saya tidak setuju dengan konsep survei BPS seperti itu. Semua yang ditemui ditanya, tapi tidak bertanya apakah punya KTP Jakarta atau tidak,” tegas Ahok. “Kamu tanya sama BPS benar enggak kalimat saya seperti itu. Dia (BPS) bilang angka kemiskinan naik sudah termasuk yang pendatang dihitung. Saya sempat menanyakan itu. Katanya, memang begitu pak, semua orang yang ketemu di Jakarta dinilai,” ucap Ahok.

Tapi diakui Ahok, bahwa memang dia pun meyakini angka kemiskinan tahun ini meningkat malah dalam perkiraan Ahok jumlahnya lebih tinggi dibanding data BPS. Menurut Ahok naiknya jumlah warga miskin,  salah satu sebabnya adalah nilai dolar AS naik. “Pasti meningkat. Nilai dolar AS naik, pasti penghasilan turun,” katanya.

Menurutnya, warga miskin di Jakarta berkisar 17%. Angka ini katanya diperoleh dari survei penduduk miskin di Ibukota menggunakan nilai KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Sedang data BPS menyebut jumlah penduduk miskin hanya 3,7%. Perbedaan angka tersebut karena BPS menggunakan standar 2.500 kalori per hari dalam melakukan survei.

“Survei dengan menggunakan KHL telah dilakukan sejak 2014. Survei itu hanya dilakukan terhadap warga yang memiliki KTP DKI Jakarta saja,” kata Ahok di Balaikota. “Survei BPS menggunakan tolok ukur 2.500 kalori per hari. Kami minta cara surveinya diubah,” ujar Ahok.

SUBSIDI UNTUK ORANG MISKIN

Guna meringankan beban warga DKI Jakarta, kata Ahok, Pemda memberikan berbagai subsidi. “Faktor yang menyebabkan kemiskinan, kan, transportasi, perumahan, pendidikan, kesehatan. Bidang-bidang itu yang kami upayakan untuk memberi subsidi. Misalnya untuk subsidi transportasi yakni PSO (Public Service Obligation) setiap tahunnya mengalami peningkatan. PSO dianggarkan menjadi Rp 3,2 triliun, subsidi pendidikan Rp 2 triliunan” paparnya.

Selain itu, Pemprov juga berencana membangunan apartemen sewa dengan harga indekos di atas depo LRT di Kelapa Gading, Jakarta Utara serta subsidi rumah susun. “Jadi akan ada banyak subsidi silang. Di antaranya dari kontribusi tambahan dari pengembang. Kami tidak ingin habiskan pembangunan infrastruktur dengan uang APBD. Kami ingin uang infrastruktur adalah bagian dari pengembang, termasuk ERP, parkir, dll,” paparnya panjang-lebar kepada wartawan.

Sementara itu Kepala BPS DKI Jakarta, Syech Suhaimi mengatakan, jika Gubernur DKI Jakarta tidak puas dengan survei BPS, silakan melakukan survei sendiri. Namun ditegaskannya bahwa apa yang diinginkan Gubernur bahwa seharusnya BPS melakukan survei hanya pada penduduk Jakarta yang ber-KTP, tidak bisa dilakukan karena hal itu menyalahi aturan.

“Kalau beliau mengharapkan penduduk tidak ber-KTP DKI Jakarta tidak disurvei, itu menyalahi,” ucap Suhaimi. Menurutnya, BPS dalam melakukan survei menggunakan metode yang berstandar internasional sehingga penggunaannya sudah berjalan secara universal.

Jika nanti pihak Pemda DKI Jakarta ingin melakukan survei sendiri, tambahnya, hasilnya tidak bisa dibandingkan dengan hasil dari BPS karena metode yang digunakan berbeda. “Kalau berbeda tidak bisa dibandingkan. Perbedaan metode bisa menimbulkan perbedaan angka yang signifikan. Kalau mau membandingkan harus menggunakan metode yang sama,” paparnya. -Diana Runtu



Jumlah Penduduk Miskin di Jakarta Bertambah

No comments:

Post a Comment